Kamis, 30 April 2009

Kutipan Hari Ini

Melawan musuh, harus bernyali besar. Menantang kawan, butuh nyali lebih besar.
(J. K. Rowling)

Rabu, 29 April 2009

Kartu Pra-Bayar vs Pasca-Bayar

Beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk membeli satu nomor baru untuk telepon seluler-ku yang sebetulnya hanya satu (dengan harapan, akan dapat ponsel baru untuk kartu baru ini. Hihi...). Cari punya cari, hasil memilih dengan teliti dari berbagai nomor yang tersedia, pilihanku jatuh pada sebuah nomor yang cukup cantik dan mudah diingat. Sebuah nomor kartu pra-bayar dari penyedia layanan yang cukup terkemuka.
E-eh... tunggu dulu. Kartu pra-bayar? Apa coba, maksudnya? Jika anak-anak pra-sekolah berarti anak-anak yang belum memasuki usia sekolah, pra-jabatan berarti sebelum menjabat sesuatu, prakata berarti sebelum menyampaikan kata-kata utama. Berarti... pra-bayar mengandung arti... sebelum membayar (?), pakai dahulu layanan telepon? Begitukah? Lho??? Kok berbeda dari konsep yang ditawarkan penyedia layanan telepon?
Menurut mereka, pra-bayar berarti konsumen membayar biaya layanan di muka, dengan membeli pulsa baik secara elektronik ataupun fisik (dalam bentuk voucher) dengan jumlah tertentu. Setelah itu konsumen dapat memanfaatkan jasa layanan yang diberikan penyedia layanan telepon tersebut.
Sebaliknya, layanan pasca bayar berarti konsumen dapat menggunakan layanan telepon 'sesukanya' untuk kemudian membayar jasa layanan terakumulasi di akhir bulan. Begitukah?
Sebetulnya, penggunaan kata pra-bayar dan pasca-bayar ini, salah kaprah atau tidak sih...?

Senin, 27 April 2009

Kutipan Hari Ini

Mungkin kamu bukan yang terbaik, tapi pastikan bahwa kamu pun bukan yang terburuk.

Comro atau Combro

Kemarin, ibuku membuat comro 'gara-gara' memiliki sepotong oncom dan 'menemukan' singkong yang terlihat bagus di penjual keliling. Tidak sekedar 'menemukan'... dibeli, pastinya. Ibu membeli singkong karena sedikit iba pada si penjual keliling yang memanggul jualannya keliling kampung. Judulnya hanya memanfaatkan sumber daya yang ada di depan mata. Begitu mungkin.
Eh... eh... nama penganan dari singkong parut isi oncom pedas itu memang comro kan, bukan combro seperti yang biasa dikatakan orang-orang? Comro adalah penganan khas dari bumi Parahyangan alias tanah Sunda, yang namanya tentu saja menggunakan bahasa Sunda. Kata comro ini merupakan singkatan dari kata onCOM di jeRO. Terjemahan bahasa Indonesianya adalah (ada) oncom di dalam(nya) -maksudnya di dalam balutan singkong parut-. Tapi pada saat pengucapannya, orang-orang lebih mudah menyebutnya combro. Ah... kalau combro, jadi oncom dijebro, dong :p
NB: foto merupakan hasil pencarian dari google yang saya unduh secara bebas, tapi masih merupakan hak cipta dari anita-avianty.blogspot.com seperti yang tertera pada gambar. Mbak Anita, itu mestinya comro ya, bukan combro ;)

Kutipan Hari Ini

Berusahalah menarik perhatian dari sekitar kita dengan sinar apapun yang ada pada kita. Jadilah yang tidak biasa untuk membedaan kita dengan mereka yang biasa.

Minggu, 26 April 2009

Sebuah Analogi

Apa sih analogi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang kuunduh secara online), analogi adalah: 1 persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yg berlainan; kias: 2 Ling kesepadanan antara bentuk bahasa yg menjadi dasar terjadinya bentuk lain; 3 Mik sesuatu yg sama dl bentuk, susunan, atau fungsi, tetapi berlainan asal-usulnya sehingga tidak ada hubungan kekerabatan; 4 Sas kesamaan sebagian ciri antara dua benda atau hal yg dapat dipakai untuk dasar perbandingan;
Untuk jelasnya, sebuah contoh dipaparkan di bawah ini. Menarik juga. ;)
Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan jenggotnya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang cukup hangat.
Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan. Si tukang cukur berkata, "Saya tidak percaya Tuhan itu ada".
"Kenapa kamu berkata begitu ???" timpal si konsumen.
"Begini... coba Anda perhatikan di depan sana, di jalanan. Untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada. Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, adakah yang sakit?? Adakah anak terlantar?? Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi."
Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur. Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar mlungker-mlungker- istilah jawa-nya", kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.
Si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata," Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR." Si tukang cukur tidak terima," Kamu kok bisa bilang begitu ??". "Saya disini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!"
"Tidak!" elak si konsumen. "Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana", si konsumen menambahkan.
"Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!", sanggah si tukang cukur. "Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya." jawab si tukang cukur membela diri.
"Cocok!" kata si konsumen menyetujui." Itulah point utama-nya!
Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA !, Tapi apa yang terjadi... ? Orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA. Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini." Si tukang cukur terbengong !!!!

Rabu, 22 April 2009

Kutipan Hari Ini

Lakukan apa yang dapat anda lakukan, dengan apa yang anda miliki dan di tempat anda berada. (Theodor Roosevelt)

Selasa, 21 April 2009

Ken Lee

Mari simak, apa yang bisa terjadi jika kita hanya mendengar tanpa mempelajari lebih jauh kebenaran ucap dan makna bahasa tertentu. Contoh ini terjadi di event music idol di Bulgaria. Menarik juga untuk disimak, dan saya yakin... di Indonesia pun ada beberapa 'kasus' serupa ;)

Embedded Video

Blogged with the Flock Browser

Senin, 20 April 2009

Kutipan Hari Ini

Jangan menghitung menit-menit kehidupanmu menurut kalender tapi hitunglah menurut sensasinya. Maka tiap momen akan bernilai sehari.
Benjamin Disraeli (1804-1881, Perdana Menteri Inggris)

Sabtu, 18 April 2009

Lomba Nge-Blog Bareng Generasi Kartini

Kubaca berita tentang adanya lomba ini di situs blogdetik, dan uh... sangat tertarik untuk ikut berpartisipasi di lomba ini. Untuk menulis beragam kisah tentang superwoman. Wow... di benakku sudah bermunculan ide-ide tentang berbagai tulisan itu.
Lomba mengambil tempat di food court BEC Bandung, hari Sabtu ini, pukul 15.00 hingga selesai. Sayangnya... koneksi internet di BEC (tempat lomba) ternyata hilang-timbul sehingga menghambat pengiriman tulisan. Ya... kita lihat saja hasilnya nanti. Jika berkenan untuk berkunjung ke blog tersebut, silakan akses di batikmania.blogdetik.com Selamat berkunjung.

Jumat, 17 April 2009

Kutipan Hari Ini

Setiap orang dapat menjadi orang besar karena setiap orang dapat melayani
Martin Luther King

Kamis, 16 April 2009

Makan Tongkat

Masih 'mencontek' dari rubrik BAHASAKITA di majalah Intisari edisi Desember 2008 (pemalas amat ya, kok belum menulis artikel sendiri. Hehe...) Tapi ini artikel yang bagus, untuk mengingatkan kita pada akar kebahasaan yang kita miliki, bahasa Indonesia. Walaupun saat ini kita sudah malang melintang di era global, tapi urusan bahasa, kita tetap harus tahu tata bahasa baku, jangan sampai malah campur-campur tidak karuan.
Jangan Sampai Makan Tongkat
Penulis: Dian Pradana
peminat bahasa di Surakarta
Coba perhatikan bahasa lisan para pejabat, tokoh masyarakat, atau orang di sekitar kita. Tak jarang mereka melakukan apa yang disebut code switching dalam berbahasa lisan. Maksudnya, menggunakan lebih dari satu bahasa dalam berbicara, Yang paling sering adalah pemakaian beberapa kosa kata bahasa Inggris dalam berbahasa Indonesia.
Yang menjadi masalah, saat mereka melafalkan beberapa kata tertentu dalam bahasa Inggris salah. Kalau berbicara dengan orang yang mengerti bahasa Inggris bisa disalahartikan nantinya. Setidaknya saya mengamati ada dua kata dalam bahasa Inggris yang kerap kali diucapkan dengan tidak benar. Kedua kata itu adalah event dan steak.
Pelafalan kata event sering rancu dengan pelafalan kata even. Event yang dalam bahasa Indonesia berarti "peristiwa, kejadian, acara" sering dilafalkan salah. Banyak penutur mengucapkan kata tersebut dengan pelafalan yang seharusnya diperuntukkan kata even yang berarti "bahkan".
Huruf "e" pertama pada kata event memang sudah benar saat dilafalkan dengan huruf "i". Namun, kesalahan yang kerap terjadi adalah saat si penutur melafalkan huruf "e" kedua dalam kata tersebut. Pelafalannya dengan bunyi yang seharusnya untuk "e" dalam kata even. Huruf "e" kedua kata even diucapkan seperti saat mengucapkan "e" dalam kata "reda", "jeda", atau "teduh". Padahal , pengucapan huruf "e" kedua dalam kata event yang benar adalah sama seperti saat kita melafalkan huruf "e" pada kata send, rent, atau men.
Kata yang kedua pun, steak, sering salah dilafalkan. Masih banyak orang yang mengucapkan steak dengan bunyi yang kalau dituliskan seperti ini: "stik" Padahal pengucapan yang benar adalah "steik".
Meski hanya berbeda satu huruf, tapi di telinga lawan bicara yang fasih berbahasa Inggris, maknanya berbeda jauh. Lawan bicara akan terkejut manakala kita bilang "Makan steak" sebab dikiranya kita makan tongkat (stick yang diucapkan "stik").
Itulah dua kata dalam bahasa Inggris yang saya perhatikan sering salah dilafalkan.
Semoga tulisan ini menjadi pelecut agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan kosa kata asing, khususnya bahasa Inggris. Lafalkan sebuah kata dengan benar agar pendengar tuturan kita menangkap maksud yang kita sampaikan melalui bahasa lisan.
Akan tetapi, alangkah baiknya jika code switching dihilangkan saja. Banggalah berbahasa Indonesia, lafalkan dengan benar. Jangan sampai kita ditertawakan orang gara-gara "makan tongkat".

Kutipan Hari Ini

Segala mimpi pasti terwujud nyata jika Anda tetap memiliki kepercayaan dalam diri. Semua hal itu mungkin.
Jennifer Capriati, petenis Amerika Serikat

Rabu, 15 April 2009

Kisah Sebuah Kota di Gunma

Salah satu kota yang menarik perhatianku di Jepang adalah kota Oizumi, sebuah kecil di sebelah utara Gunma. Di kota ini terdapat komunitas orang asing yang cukup besar, terutama warga negara imigran dari Brazil atau Peru. Dengan demikian, bahasa kedua di kota ini adalah bahasa Portugis atau Spanyol. Balai kota memiliki penterjemah resmi yang menguasai kedua bahasa tersebut. Penduduknya pun dengan nyaman bisa hidup di sana walaupun mereka tidak cukup mengerti bahasa Jepang, karena tetangga sebelah menyebelah, berbagai toko dan kantor dikelola oleh orang-orang dari negara mereka. Bahkan petunjuk jalan pun ditulis dalam 2 bahasa, Jepang dan Portugis, bukan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Wow... Orang-orang Peru yang berbahasa Spanyol sebagai bahasa ibu pun tidak merasa kesulitan karena kedekatan rumpun bahasa Spanyol dengan bahasa Portugis, sehingga mereka dapat mengerti petunjuk yang disediakan dalam bahasa Portugis (Seperti kedekatan rumpun bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia dengan bahasa Indonesia).
Sensei pembimbingku ketika di sana mempunyai proyek binaan di kota tersebut, yang melibatkan tim kerja mahasiswanya untuk berkunjung ke kota tersebut pada saat-saat tertentu, biasanya untuk penyelenggaraan kegiatan pendukung untuk warga negara asing di sana.
Aku dan Claudia menjadi 2 orang asing dalam tim pimpinan sensei tersebut. Claudia adalah seorang psikolog keturunan Jepang dari yang juga hanya paham bahasa percakapan sederhana. Kadang kami frustrasi mendengarkan penjelasan sensei secara panjang-lebar dalam bahasa Jepang tanpa bisa mengerti keseluruhan isi pembicaraannya. Dengan dia (Claudia), aku bisa saling curhat ketika menjalani tugas bersama dari sensei. Kebetulan pula, kami sering diberi tugas bersama untuk berkunjung ke kota Oizumi, wilayah yang cukup padat dengan pendatang dari Amerika Selatan, objek penelitian sensei kami. Kadangkala, kami diberi tugas yang tidak kami pahami maksudnya karena ketiadaan kaitan antara kegiatan tersebut dengan program penelitian kami. Dalam hal ini, tema school culture yang ingin kupelajari hanya jadi framework yang buram dan mengawang-awang. Bersama Claudia, kami saling curhat karena ‘frustrasi’ dengan tugas yang Sensei berikan. Bingung karena tidak tahu cara menyampaikan harapan dan keinginan kami, juga menanyakan tujuan penugasan tersebut, terutama dengan keterbatasan kosa kata yang kami miliki. Frustrasi deh.
Tapi saat berada di kota Oizumi, Claudia merasa terhibur karena banyaknya pendatang yang juga berasal dari Brazil, dan dengan mereka dia bisa dengan bebasnya bercerita tentang segala macam, tanpa dibatasi oleh kendala bahasa. Duh… sempat iri juga, tapi bukankah iri hanya pertanda ketidakmapuan? Ah… sedikit demi sedikit, aku berhasil menyisihkan rasa iri dari dalam hatiku.
Berkaca dari pengalaman di masa itu, aku membandingkannya dengan kondisi di Indonesia saat ini. Jangankan terjemahan ke bahasa Inggris. Terkadang nama tempat di Indonesia sesukanya mencantumkan bahasa Inggris saja, seakan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada bahasa ibunya. Sayang sekali.

Selasa, 14 April 2009

Kutipan Hari Ini

"Orang-orang menyenangkan mungkin tampaknya ketinggalan, namun biasanya mereka mengikuti perlombaan yang berbeda."
Ken Blanchard dan Norman Vincent Peale

Senin, 13 April 2009

KAMUS

Ketika aku masih SMA, dalam sesi pelajaran bahasa Indonesia. Sang guru menanyakan suatu istilah yang tidak diketahui murid-murid. Beliau menyarankan kami untuk membuka KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia. Saat itu belum jadi Kamus Besar Bahasa Indonesia). Rupanya, KUBI pun belum cukup populer di kalangan pelajar SMA -setidaknya teman-teman sekelasku- saat itu. Ketika seorang temanku ditanya singkatan dari apakah KUBI itu? Dia menjawab... "Kuingin Bicara". Wadduh!!
Saat itu aku sudah cukup familiar dengan kamus. Kamus pertama yang kuketahui adalah kamus ayahku, kamus saku Inggris-Indonesia bersampul hijau tua yang cukup tebal dengan tulisan kecil-kecil. Di beberapa tempat, kamus ini diberinya indeks huruf, tak kalah kecil. Indeks itu dibuatnya secara manual, dengan menggunting huruf dari koran, lalu ditempelkan di halaman kamus dengan menggunakan selotip. Praktis, kreatif.
Kamus bahasa Indonesia (yang saat itu masih KUBI), sudah cukup kukenal karena kamus itu tersedia di rumah, milik kakakku, hadiah dari kejuaraan baca puisi atau apaa... begitu. Cukup sering juga aku melihat-lihat tampilan isi dan makna beberapa kata, dan seringkali belajar kata-kata yang baru kudengar atau kubaca secara sambil lalu saat mencari kata tertentu. Mengasyikkan juga.
Kamus Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris susunan Hassan Shadily dan John M. Echols juga cukup kuakrabi karena kegemaranku membaca buku-buku cerita berbahasa Inggris, koleksi perpustakaan British Council yang dulu pernah eksis di Bandung.
Lulus kuliah, aku sempat belajar bahasa Jepang dan jadi cukup akrab dengan kamus Jepang-Indonesia dan Indonesia-Jepang. Kalau tinggal di Jepang, harus bisa juga berbicara dalam bahasa Jepang-lah, kalau tidak mau jadi "bisu-tuli-buta" aksara di sana. Kamus berbentuk buku kurasa tidak cukup praktis, maka akupun beralih ke kamus elektronik yang terasa saaaangat membantu dalam proses belajarku selama di Jepang.
Kubeli kamus elektronik yang masih kugunakan hingga saat ini dengan cara indent (apa sih, indent? pesan dan tunggu?). Edisi spesial nih, karena aku ingin yang berwarna hijau, warna kesukaanku. Jarang tersedia, maka dari itu ketika kudapatkan, aku sayang sekali kamusku.
Saat ini ada lagi kamus 'model baru', bukan sekedar elektronik, tapi kamus online. Praktis sih... tidak perlu bawa-buku tebal ataupun gadget kecil sekalipun. Kalau kebetulan komputer sedang terhubung ke jaringan internet, kapan saja kita mau, silakan klik situs yang menyediakan layanan itu. Macam-macam, tinggal pilih sesuai kebutuhan. Ah... hidup semakin mudah rasanya. Semoga kita pun makin pandai bersyukur atas segala kemudahan ini. Amiin.

Kutipan Hari Ini

"Yang penting adalah apa yang anda pelajari setelah mengetahui semuanya."
John Wooden, Pelatih Basket yang masuk Hall of Fame

Sholat, Shalat, atau Salat

Artikel ini kukutip dari rubrik BAHASAKITA di majalah Intisari edisi bulan Mei 2008. Memaparkan secara ilmiah, kaidah penggunaan beberapa kata serapan dari bahasa asing -Arab, tepatnya- yang sudah biasa dipakai. Aku sendiri, lebih suka menulis kata shalat dibandingkan dengan sholat atau salat. Padahal menurut kamus dan PUEYD, itu salah. Begitu juga dengan adzan maghrib. Sudah lebih terbiasa dan lazim, rasanya (atau pertanda keras kepala semata? :p)

Sholat, Shalat, atau Salat?
Penulis: Dra. Dad Murniah, M.Hum
Kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, Depdiknas

Sering kita menemukan kata salat dituliskan secara berbeda: shalat atau sholat. Padahal, sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD), penulisan yang benar adalah salat.
Suatu kata yang telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang ada yaitu PUEYD. Tak terkecuali kata yang berasal dari Arab. Tetapi suatu kata Arab yang belum menjadi warga kosakata bahasa seyogyanya ditulis mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Bukankah kata salat yang berasal dari bahasa Arab itu telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia? Kata itu telah dikenal secara luas dan tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam PUEYD, hanya empat satuan bunyi yang dilambangkan dengan dua hurufm yaitu kh, sy, ng, dan ny.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kelaziman mengeja kata serapan dari bahasa Arab yang mengandung huruf hijaiyah sad? Penulisan hata-kata serapan semacam itu telah ditetapkan dan diberlakukan secara taat asas. Kata sahabat, misalnya, tidah ditulis shahabat. Begitu juga dengan musibah, nasihat, maksud, kisah atau maksiat, tidak ditulis mushibah, nashihat, maqshud, qishah, atau ma'shiat.
Sejumlah contoh kata serapan dari bahasa Arab tersebut menunjukkan bahwa huruf sad menjadi s dalam bahasa Indonesia.
Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab yang ditulis secara tidak tepat. Misalnya azan magrib ditulis adzan maghrib. Padahal dua kata itu telah biasa dipakai dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Tentu saja ia harus tunduk pada kaidah penulisan kata serapan yang ada. Konsonan dz dan gh tidak terdapat dalam sistem ejaan bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang berasal dari bahasa Arab yang mengandung huruf zal dan gain. Misalnya zat, zikir, uzur, gaib, gairah, atau logat. Kata-kata itu seharusnya tidak ditulis dzat, dzikir, udzur, ghaib, ghairah, atau loghat. Di dalam kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, huruf zal dari bahasa Arab menjadi z di dalam bahasa Indonesia dan gain menjadi g.
Memang dalam PUEYD disebutkan bahwa ejaan kata yang berasal dari bahasa asing (termasuk Arab tentunya) hanya diubah seperlunya. Hal ini dimaksudkan agar ejaannya dalam bahasa Indonesia masih dapat dibandingkan dengan ejaan dalam bahasa asalnya.
Kalau kita bandingkan antara lafal lambang bunyi bahasa Arab dan lafal lambang bunyi bahasa Indonesia, kita melihat adanya perbedaan-perbedaan yang cukup besar. Upaya terbaik untuk mengatasi hal itu dalam pengindonesiaan kata bahasa Arab ialah mencarikan lambang bunyi yang paling dekat dengan lafal lambang bunyi serupa dalam bahasa Arab.
Namun patut diingat, unsur bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia harus mempertajam daya ungkap. Ia juga harus memungkinkan orang menyatakan makna konsep atau gagasan secara tepat. Penyerapan unsur bahasa Arab itu perlu dilakukan secara selektif. Kata serapan itu arus mampu mengisi kerumpangan konsep dalam khazanah bahasa Indonesia. kata itu memang dibutuhkan dalam bahasa Indonesia untuk kepentingan pemerkayaan daya ungkap mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Memang, dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bahasa asing, termasuk bahasa Arab. Tentu saja pengaruh itu di satu sisi dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di sisi lain bisa saja mengganggu kaidah tata bahasa kita. Tetapi kita tak perlu terlalu risau dan curiga, bukan?

Rabu, 08 April 2009

Anggota Wudhu

Kisah ini terjadi saat aku mengajar di sebuah sekolah Islam yang menerapkan sistem full day school, sekolah sehari penuh (padahal hanya dari pukul 7.30 sampai 16.00). Selain makan siang bersama, anak-anak pun melaksanakan shalat dua kali di sekolah. Siang itu aku baru membahas cara wudhu anak-anak yang masih berantakan, padahal mereka sudah kelas 3 SD. Kukatakan bahwa semua anggota wudhu mulai dari tangan hingga kaki, harus kena air wudhu secara sempurna agar pelaksaan shalat juga menjadi sah.Tahu-tahu Raihan nyeletuk, “Bu.. bu... kalau mau jadi anggota wudhu, daftarnya ke mana ya?” :p

Selasa, 07 April 2009

Kutipan Hari Ini

Kepercayaan adalah sebuah kaca yang harus anda jaga agar tidak tergores apalagi pecah. (Syamsul)

Permen Polo...ng (Eh??? ;) )

Bus ini 'kutemukan' beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan tentunya. Iklan Polo, salah satu permen menyegarkan yang jadi favoritku, ternyata juga punya serial iklan yang lucu-lucu, dan ini salah satunya.
Kaidah bahasa ditabrak habis-habisan. Campur aduk antara bahasa daerah (Sunda), dengan ungkapan yang hanya dipakai dalam bahasa lisan. Belum cukup, masih ditambah dengan bahasa Inggris. Cermati ini:
Gas mah geus pol, tapi mesin tetep dodol!
Think
plong! Masih ada bolong.

Hm... Untuk masyarakat awam sekalipun, bahasa iklan seperti akan mudah sekali 'ditangkap' dan diingat. Itu memang tujuan iklan kan? Ilustrasi yang menyertainya pun tak kalah seru. Lima karakter lelaki itu seolah sedang mendorong badan bus yang terkesan tak juga mau bergerak. Kan mesinnya dodol ;) :p

Kutipan Hari Ini

Tidak ada orang yang gagal selama dia menikmati hidup.
(William Feather)

Penghuni Perpustakaan

Ini adalah naskah yang kukirim ke panitia lomba Kisah Seru di Perpustakaan beberapa waktu yang lalu. Karyaku tersisih, sedih dong.... Tapi setelah kubaca karya-karya sang juara, wah... mereka memang pantas juara. Aku posting saja naskahku di sini. Setidaknya untuk berbagi. Sayang kan, jika naskah yang sudah ditulis ini tidak dipublikasikan ;) Selamat membaca.
Penghuni Perpustakaan
“Apaan? Diah? Paling-paling dia tahu Bandung cuma sampe perempatan deket sekolah, seturunnya dia dari angkot. Dia kan kuper. Cuma tahu jalur angkot dari rumah ke sekolah, terus balik lagi. Udah, cuma itu doang. Di sekolah juga mainnya kan di perpustakaan melulu.”
Aku melet. Susah untuk membela diri di tengah kerumunan teman-teman yang meledekku habis-habisan.
Sebagiannya, mereka tidak salah. Aku memang suka nongkrong di perpustakaan, hampir di setiap jam istirahat, untuk banyak alasan. Di rumah, kami tidak berlangganan Koran, sedangkan di perpustakaan, aku bisa membaca Koran setiap hari, gratis, tentunya. Tambah wawasan, tambah ilmu. Kedua, aku juga bukan dari keluarga berada. Apa hubungannya, coba? Tentu saja aku tak bisa setiap hari nongkrong-nongrong di kantin sekolah, membeli berbagai penganan yang ah… I just simply can’t afford it. Kunjungan ke perpustakaan sebetulnya cuma kedok dari kemiskinanku. :p
Sebetulnya, keluargaku nggak miskin-miskin amat sih… Aku sok hemat saja. Sejak SD, aku sudah dikenalkan pada perpustakaan British Council, dulu ada di Jalan Lembong, dekat hotel Panghegar bandung. Kakak sulungku yang saat itu sudah kuliah cukup sering membawaku ke sana, membantuku mendaftarkan diri sebagai anggota, dan kemudian, aku senang sekali bolak-balik ke sana seorang diri untuk meminjam berbagai buku berbahasa Inggris koleksi perpustakaan itu. Asyik lho, ketika merasa bisa dan mengerti isi suatu buku yang kubaca, aku jadi bersemangat untuk membaca buku lainnya, makin lama makin tinggi levelnya, dan aku makin pintar berbahasa Inggris jadinya. ;)
Ketika SMP, aku tak bisa sekolah jauh-jauh, karena orangtuaku tak cukup punya biaya untuk menyekolahkan aku di tempat yang relatif jauh. Perjalanan dari rumah ke sekolah kujalani dengan naik angkot satu kali, makan waktu sekitar setengah jam. Begitu pula ketika aku di SMA, yang terletak tidak jauh dari SMP tempatku sekolah. Itulah makanya, aku sering jadi bahan ledekan teman-teman, bahwa aku cuma tahu Bandung sampai batas sekolahku saja. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah merambah jauh ke perpustakaan British Council, sementara mereka bahkan mungkin tidak tahu, di mana letak perpustakaan itu. :p
Terus terang, ketika SMP, aku tidak cukup sering berkunjung ke perpustakaan sekolah, karena letaknya yang kurang strategis, koleksi bukunya yang terbatas, juga ruangannya yang pengap. Konon, ada ‘penghuni’ di perpustakaan itu, yang suka mengganggu kenyamanan para siswa yang sedang membaca di dalamnya. Tak heranlah, jika tak banyak siswa yang memanfaatkan fasilitas perpustakaan. Kita sudah takut duluan.
Selain itu, ventilasi di ruang perpustakaan itu pun tidak cukup baik, tak ber-AC, pula. Makin malaslah aku untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Sebetulnya, ada AC sih di sana. Pak Ase, maksudnya, guru bahasa Indonesia yang merangkap pustakawan. Kami sering mencandai beliau di belakang punggungnya, bahwa mungkin beliau yang dimaksud dengan ‘penghuni’ perpustakaan, karena memang beliau sering sekali berada di perpustakaan. Kadang, kami saling mendorong sesama kita untuk pergi ke perpustakaan yang ‘nyaman karena ada Ase’. Wah… maaf ya pak. By the way, apa kabar kiranya beliau?
Perpustakaan SMAku lebih nyaman dibanding perpustakaan SMP. Tempatnya relatif di tengah kampus SMA, dengan jendela berkaca yang mudah dibuka untuk sirkulasi udara. Aku suka di sana, karena berbagai alasan. Tambah satu alasan lagi, karena itu adalah lokasi strategis untuk ngecengin kakak kelas, yang sering melintas di depan perpustakaan. Haha…!
Sementara itu, perpustakaan British Council Bandung kemudian ditutup, dan koleksi bukunya dialihkan atau dititipkan ke perpustakaan pusat ITB. Wah… aku seperti magnet saja, mengikuti ke manapun perpustakaan itu pergi. Aku jadi mahasiswa ITB, dan sesekali berkunjung ke perpustakaan pusat yang berdinding keramik biru. Dipikir-pikir, seperti dinding kamar mandi ya. Hehe…
Usai kuliah, aku kemudian ‘tersesat di jalan yang benar’, memenuhi panggilan jiwa untuk menjadi guru, cita-cita masa kecilku. Aku mengajar di sebuah sekolah swasta di kawasan Bandung utara. Aku sangat menyenangi pekerjaanku, mengajar murid-muridku, transfer ilmu dan memotivasi mereka mengenai berbagai hal, juga semangat untuk mencintai perpustakaan.
Di saat mengajar, tak jarang aku meminta mereka untuk mencari data penunjang ke perpustakaan. Kudampingi, tentunya. Kuajarkan mereka adab di perpustakaan, untuk tak berbicara keras-keras, tak berlarian atau bermain-main selama di perpustakaan, mengambil dan mengembalikan koleksi buku dengan hati-hati, pada intinya untuk mencintai buku dan mencintai perpustakaan.
Usai mengajar, tak jarang aku tetap tinggal di perpustakaan untuk membaca satu-dua koleksi buku yang makin lama makin lengkap saja. Perpustakaan yang merupakan gabungan dua ruangan yang relatif kecil semakin lama semakin nyaman saja. Meja pendek dengan bantal-bantal besar atau kursi di ruang sebelah, membuatku makin betah berada di dalamnya sebagai penghuni perpustakaan. Aku dan bu Dewi, sang pustakawan sekolah, berkawan akrab. Kami bahkan pernah menyewa satu rumah bersama, berbagi atap dan berbagi kamar mandi, dan saling tahu kebiasaan masing-masing.
Suatu siang, usai istirahat, aku mengunjunginya di perpustakaan. Saat itu perpustakaan sepi, hanya ada kami berdua dan pak Wawan, seorang bapak guru lainnya. Kami semua asyik dalam kegiatan membaca kami masing-masing. Nyaris tak ada suara ketika tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara “DUTTT” Keras. Kami semua melotot, menegakkan kepala dari buku yang sedang kami baca. Tahu-sama tahu siapa yang mengeluarkan suara itu.
Siapa pun yang kentut, mungkin merasa yakin bahwa aksinya tidak akan diketahui. Dia mungkin merasa yakin bahwa gas buangnya akan keluar diam-diam dan hanya akan meninggalkan bau begitu saja di ruangan perpustakaan kecil itu, tak terdeteksi siapa produsennya. Tapi ternyata sang kentut berkhianat. Dia tak ragu-ragu menunjukkan keberadaannya, dengan percaya diri ‘berteriak’, mempermalukan sang empunya, yang tak ayal lagi, berwajah merah padam. Tapi kami pura-pura bodoh, melanjutkan kegiatan membaca kami masing-masing, beringsut sedikit menjauh dari ‘si pembuat onar’, yang mungkin tidak rela jika aku jadi penghuni perpustakaan bersamanya. :p
Catatan: Nama dan kisah di tulisan ini tidak seluruhnya nyata. Jika ada persamaan dengan tokoh ataupun peristiwa tertentu, itu karena memang disamarkan untuk melindungi privasi yang bersangkutan.

Senin, 06 April 2009

Kutipan Hari Ini

Akhir hidup yang besar bukanlah pengetahuan melainkan perbuatan.
(Thomas Henry Huxley)

Minggu, 05 April 2009

Contreng, Conteng, Centang, Centong

Besok mulai memasuki masa tenang sebelum pemilu tanggal 9 nanti. Setelah puluhan partai jor-joran berkampanye dengan berbagai cara dan kreativitas, aman maupun membahayakan, jujur ataupun curang, sekarang saatnya warga memilih yang terbaik. Memilih wakil rakyat, menentukan pilihan di bilik suara untuk kemajuan bangsa yang hingga saat ini masih belajar berdemokrasi.
Tahun ini sistem pemilu mengalami sedikit penyesuaian lagi. Setelah 'sukses' dengan sistem pemilihan langsung, kali ini kata 'coblos' tidak lagi populer. Yang sedang in saat ini adalah 'contreng'. Eits! Seorang teman yang kuliah di pascasarjana bahasa Unpad menyatakan bahwa kata itu tidak terdata di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata yang tercantum di sana adalah 'conteng'. Lho, bukan 'centang'? tanyaku kemudian. Rasanya aku sudah cukup sering mendengar kata 'centang' untuk sebuah tanda yang cukup familiar menyerupai huruf V itu selama 10 tahun lebih 'karirku' di dunia pendidikan. Jie... karier... ;) Jadi, yang benar itu sebetulnya apa sih? Contreng? Conteng? Centang? Atau malah centong? Ah... centong sih alat yang mengakibatkan luka di kepala Sangkuriang ya? :p

Blogged with the Flock Browser

Jumat, 03 April 2009

Kutipan Hari Ini

Anda telah mencapai puncak kesuksesan begitu anda tidak tertarik lagi pada uang, pujian atau publitas.
(Dr.O.A.Battista)

Bunga Kaktus

Cantiknya bunga, selalu membuatku terpesona. Termasuk yang satu ini, bunga yang mekar di malam hari, bunga kaktus raksasa (wah... mungkin aku terlalu bombastis ya dengan mengatakannya raksasa, tapi bunganya memang besar, sebesar piring makan orang dewasa.) Bunga yang bersepupu dengan Wijayakusuma ini sudah membuatku terpesona sejak dia pertama kali mekar, beberapa waktu yang lalu. Setelah itu, batang kaktus ini rajin sekali berbunga. Sayang, dia mekar di malam hari, sehingga kadang momen indah itu terlewatkan. Kusempatkan mengambil gambarnya di pagi hari, saat dia mulai layu kembali. Betul-betul serupa sifatnya dengan sang sepupu (Wijayakusuma tea...). Jadi ingat lagu tentang bunga itu.
Tumbuhmu, di pojok halaman
Seolah kau tak diperhatikan
Mekarmu di keheningan malam
Selalu dinantikan
Mekar mekar bungaku mekar
Bunga Wijayakusuma-ku
Lagu yang sederhana. Nadanya mudah dinyanyikan, kata-katanya mudah diingat, dan sangat tepat menggambarkan keadaan sang bunga. Entah siapa penggubah lagu ini. Anonim. Lagu ini sudah kuketahui sejak masa kanakku dulu, dan masih kuingat hingga saat ini. Sayang, tak diketahui siapa orang di balik lagu ini. Bisa-bisa, diklaim oleh seseorang tertentu sebagai hasil karyanya. Rawan plagiarisme nih. Sudah jelas penciptanya saja kadang orang-orang masih sesukanya mengganti lirik lagu dan mengklaimnya sebagai lagu sendiri. Padahal, bagi sebagian orang, mengarang lagu itu tidak semudah menyanyikannya. Menyanyi itu gampang. Tapi menggubah lagu memerlukan kepekaan bermusik, kepekaan nada, kemampuan merangkai kata menjadi lirik lagu, wah... pada intinya menggubah lagu itu tidak mudah. Jadi... ayo kita hargai karya cipta orang lain, sebagai bentuk penghargaan kepada salah satu aspek intelektual. Dan kita hargai karya cipta Allah yang Agung dengan menikmati keindahan yang tersedia begitu banyak di alam. Semoga kita termasuk orang yang pandai bersyukur. Amiin.

Rabu, 01 April 2009

Kutipan Hari Ini

Lakukan apa yang dapat anda lakukan, dengan apa yang anda miliki dan di tempat anda berada. (Theodor Roosevelt)