Selasa, 31 Maret 2009

Total Hadiah Rp 15 Juta, Lomba Blog Sepi Peminat

Andrian Fauzi - detikinet
Bandung - Banyaknya lomba blog diyakini menjadi salah satu penyebab minimnya peserta lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan 2009 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Bandung. Padahal panitia telah menyediakan total hadiah Rp 15 juta.
"Justru saat kita jor-joran promosi, pesertanya malah lebih sedikit," ujar Staf TI Balai Bahasa Bandung Asep Miftahuddin kepada detikINET saat ditemui di kantor Balai Bahasa Bandung di Jalan Sumbawa No 11, Bandung, Senin (30/3/2009).
Menurut Adon, panggilan akrabnya, Balai Bahasa Bandung adalah yang pertama kali dan satu-satunya diantara Balai Bahasa yang lainnya yang menyelenggarakan lomba blog. Awalnya Adon membuat lomba ini untuk mempromosikan situs resmi Balai Bahasa Bandung.
"Awalnya hanya untuk mempromosikan situs kita yang baru. Tapi lama kelamaan kita ingin melakukan penyuluhan bahasa dan sastra di internet," katanya.
Kompetisi blog kali ini adalah yang kedua. Kompetisinya akan berlangsung mulai tanggal 27 Februari sampai dengan Oktober 2009. Sejak diluncurkan sampai hari ini baru ada 69 peserta yang mendaftar di situs resmi Balai Bahasa Bandung di balaibahasabandung.web.id
Senada dengan Asep, Sarip Hidayat, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung dan Pengelola Situs, mengaku bahwa penulisan bahasa dan sastra memang sepi peminat. Bahkan ada di dalam komentar di salah satu blog yang memposting tentang lomba blog tersebut mengatakan lomba blog bahasa ribet dan susah.
"Satu-satunya lomba blog yang susah dan tidak menarik adalah lomba blog bahasa. Itu komentar salah satu pembaca," papar Sarip.
Padahal, imbuhnya, untuk mengikuti lomba tersebut tidaklah sulit. Peserta hanya diwajibkan mendaftar sebagai peserta dan mencantumkan button Balai Bahasa Bandung secara permanen pada blog yang didaftarkan.
"Tidak harus blog bahasa. Bisa saja hanya menulis satu artikel tentang bahasa, satra atau bahkan puisi pun bisa ikutan lomba," katanya.
( afz / wsh )
Catatan: hingga kemarin, Senin, 30 Maret 2009, peserta lomba blog balai bahasa bandung baru mencapai 69 peserta. Tenggat waktu lomba masih panjang, sampai bulan Oktober nanti. Ayo optimis, akan banyak blog baru bermunculan menyemarakkan lomba ini. Akan makin banyak juga blog 'sehat' berbahasa Indonesia. Ayo deh, berkompetisi yang sehat ya. ;)

Kutipan Hari Ini

Aku telah belajar untuk diam dari orang yang banyak omong, belajar toleran dari orang yang tidak toleran, dan belajar menjadi ramah dari orang yang tak ramah; namun, sungguh aneh, aku tak berterima kasih pada orang-orang ini.
(Kahlil Gibran)

Senin, 30 Maret 2009

I'm Sorry Goodbye

sebelum bertemu denganmu hidupku bahagia
semenjak bertemu denganmu ku makin bahagia
semakin lama aku semakin tahu tentang engkau
sedikit kecewa ternyata engkau tak baik

pertama-tama semua manis yg engkau berikan
membuat aku merasakan cinta sebenarnya
semakin hari semakin terungkap yg sesungguhnya
ku makin kecewa ternyata kau penuh dusta

reff:
maafkan ku harus pergi
ku tak suka dengan ini
aku tak bodoh
seperti kekasihmu yg lain

terima kasih oh Tuhan
tunjukkan siapa dia
maaf kita putus
so thank you so much I’m sorry, goodbye

seribu cara kau membuaiku dengan puitis
maybe kau lupa bahwa aku pun juga manusia
yg punya mata, punya hati, dan perasaan
maaf aku pergi dan takkan untukmu lagi

repeat reff

Terima Kasih, Selamat Tinggal

Embedded Video

Blogged with the Flock Browser

Aku selalu suka Krisdayanti. Kekuatan suaranya, keindahan kualitas vokalnya, kejelasan artikulasinya, juga kualitas lagu-lagunya. Hanya yang satu ini yang kurasa agak aneh. Sedikit menyisipkan kata-kata berbahasa Inggris di antara liriknya. Padahal masih bisa pakai bahasa Indonesia, lho. Jumlah suku katanya tepat. Baik di judul maupun akhir bait refrain lagu ini. I'm sorry good bye = terima kasih, selamat tinggal. Sama kan? Juga ada sedikiiit, satu kata, di bait ke-3. Ada kata maybe di situ, yang sangat mungkin -tidak pula mengubah melodi, juga tidak mengubah arti- diganti dengan kata mungkin. Mengapa tidak disempurnakan dalam bahasa Indonesia saja?
Mungkin terasa lebih 'gaya' jika menyisipkan satu-dua bahasa asing di dalam lirik lagu populer. Ini sudah jadi hal biasa di lagu-lagu pop Jepang, yang menyisipkan satu-dua kata atau kalimat berbahasa Inggris dalam lirik lagu-lagunya. Sempat kupikir, lucu juga kali ya. Unik, gitu. Tapi mungkin kebiasaan orang Indonesia, lebih gampang meniru saja ya, bukan membuat inovasi. Kalaupun ada yang membuat inovasi, jumlahnya masih sedikit sekali dibandingkan dengan populasi di negeri ini. Ayo anak bangsa, tunjukkan karya pada dunia.
Katakan terima kasih kepada para pendahulu, dan katakan selamat tinggal pada kebiasaan meniru, mengekor, apalagi plagiarisme. Jangan ragu ucapkan, terima kasih (karena memberi contoh baik), dan selamat tinggal (kebiasaan buruk).

Sabtu, 28 Maret 2009

Anak-anak Bilingual

Sebagai guru yang mengajar di sebuah sekolah internasional, aku sudah cukup familiar dengan keberadaan anak-anak berbahasa ganda atau lazim disebut bilingual.
Perkenalan pertamaku dengan anak-anak bilingual dimulai dari tiga bersaudara pindahan dari Australia. Sang kakak sulung bersekolah di SMP, sedangkan adiknya yang perempuan bersekolah di kelas 4, dan si bungsu yang laki-laki di kelas 1. Sebagai anak dari pernikahan campuran, wajah mereka cantik dan tampan. Kemampuan berkomunikasi mereka? Nyaris 100% berbahasa Inggris. Ibu mereka, sebagai warga Negara Indonesia tentu masih bisa berbahasa Indonesia –walaupun sudah terwarnai oleh logat asing-, sedangkan ketiga bersaudara itu, ah… sulit sekali menyampaikan pelajaran kepada mereka dalam bahasa Indonesia. Hanya satu-dua kata yang mereka pahami dalam bahasa Indonesia. Bayangkan… jika kita harus mengajarkan mata pelajaran IPA dengan berbagai istilah yang berbeda dalam bahasa Indonesia dan Inggris, bagaimana sulitnya? Walaupun aku… bisalah berbahasa Inggris, tetap sulit menyampaikan materi pelajaran kepadanya. Akupun terbawa bilingual, menterjemahkan setiap kalimat ke dalam bahasa Inggris untuknya.
Osha yang masuk ke kelas 4 di mana aku adalah wali kelasnya. Dia baru datang dari Jerman, mengikuti ayahnya yang pulang kampung ke Indonesia setelah bertugas lama di sana. Mereka adalah keluarga Sunda yang sehari-harinya berbahasa Jerman saja atau dicampur dengan sedikit bahasa Sunda dan sedikit bahasa Indonesia. Nah… ketika dia kembali ke Indonesia, sulitlah kita berkomunikasi dengannya. Diajak bahasa Inggris tidak bisa, dibawa berbahasa Indonesia pun tak nyambung. Masa mau pakai bahasa Sunda? Aku tak pandai pula.
Ada pula Hanan dan Nada yang tinggal cukup lama di Amerika, dan tentu saja sangat menguasai bahasa Inggris. Tapi untungnya, ayah dan ibu mereka masih menggunakan bahasa Indonesia, sehingga mereka tak lupa bahasa ibu (dan ayahnya). Mereka terlihat cukup terganggu dengan sedikit gegar budaya dan bahasa ketika kembali ke Indonesia setelah 5 tahun di negeri Paman Sam, namun mereka cepat menyesuaikan diri, hingga meraih prestasi yang cukup tinggi di kemudian hari. Hanan hampir lulus dari jurusan Hubungan Internasional, sementara Nada masih jadi mahasiswa fakultas Kedokteran di salah satu universitas terkemuka di Bandung.
Selain mereka, ada pula Daichi yang beribukan seorang berkebangsaan Jepang. Dia masih berbahasa Jepang dengan ibunya, tapi kemampuan berbahasa Indonesianya cukup baik. Sayang, hanya satu tahun lebih sedikit, Daichi di Indonesia. Selanjutnya, dia pindah ke Jepang lagi, dan sudah banyak lupa berbahasa Indonesia. Maklumlah… Negara Jepang memiliki tradisi kuat untuk melestarikan bahasa dan budayanya. Tak ada ruang untuk anak-anak asing di sekolah mereka, kecuali anak-anak itu mau beradaptasi danmenggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa sehari-hari.
Di sekolah tempatku mengajar sekarang ini, ada pula dua kakak beradik yang ikut orangtuanya tinggal di Australia beberapa tahun. Bahasa lisan mereka sangat diwarnai bahasa Inggris. Awalnya sulit berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Indonesia. Kupikir, tentulah nilai bahasa Inggris mereka akan jadi yang terbaik di kelasnya. Ternyata, tidak demikian adanya. Mereka mungkin teramat pandai berbahasa Inggris lisan, tapi wawasan kebahasaan tidak semata dalam bentuk lisan, bukan? Ada pemahaman wacana yang terkait dengan kemampuan menulis dan ketatabahasaan, juga kemampuan dengar, selain keahlian berbicara. Jadi, yang berbahasa Inggris aktif, ternyata belum tentu paling hebat juga, bahkan dalam pelajaran bahasa Inggris sekalipun.
Teringat satu sesi dalam pelatihan yang pernah kuikuti. Pernyataan sang narasumber sebagai berikut, “Anak-anak yang bisa dua bahasa, disebut bilingual. Anak-anak yang bisa tiga bahasa, disebut trilingual. Anak-anak yang bisa berbagai bahasa, disebut multilingual. Sedangkan orang-orang yang bisa satu bahasa saja (Inggris), disebut American.” katanya. Haha… Ada benarnya juga kali ya? ;)

Jumat, 27 Maret 2009

Made In Indonesia 15 Chart

Kembali ke Rase FM, radio yang seringkali kudengarkan dalam perjalanan pulang-pergi dari rumah ke tempat kerja.
Salah satu program siaran yang kudengar dalam perjalanan pulang, malam-malam, jam 8-an, ya program yang satu ini, "Made in Indonesia 15 (lima belas) Chart". Halah! Bahasa yang campur-campur lagi. Lucu jadinya.
Kelimabelas lagu yang masuk dalam daftar lagu terbaik pekan itu, semuanya berbahasa Indonesia dan semuanya dinyanyikan oleh penyanyi atau pemusik Indonesia. Tapi judul programnya kok ya... bercampur dengan bahasa Inggris ya? Mengapa tidak "15 Tangga Lagu Indonesia" saja, atau "15 Lagu Buatan Indonesia", atau "Karya Anak Bangsa Indonesia 15", atau apa saja deh, yang menggunakan bahasa Indonesia. Bukankah akan lebih jelas mengidentifikasi kebanggaan kita terhadap karya seniman Indonesia sendiri? Ayo dong, kita apresiasi dengan bahasa kita sendiri pula. Jika bukan kita yang bangga dan memakainya, siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia, jangan sampai di-klaim pula oleh bangsa lain. :p

Kamis, 26 Maret 2009

Berbangga dengan Bahasa Kita

Satu setengah tahun aku tinggal di negara tetangga, Jepang, tempat aku menjalani kegiatan sebagai peserta program penataran guru di Universitas Gunma. Awalnya, aku begitu percaya diri bahwa dengan kemampuan berbahasa Inggrisku, aku bisa hidup nyaman di Jepang, tanpa perlu menguasai bahasa mereka. Kupikir, negara jepang toh termasuk negara maju yang berbagai produknya -terutama produk elektronik- telah sukses diekspor ke mana-mana. Warga negaranya, tentulah juga menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa dunia. Tapi... rupanya aku harus kecewa, karena di Gunma, bahasa Inggris nyaris tak ada gunanya.

Hari-hari pertamaku di sana kupakai untuk berkeliling di daerah sekitar, bersama seorang teman warga Tunisia yang pandai berbahasa Inggris. Tanya sana-tanya sini, ternyata hampir semua tetangga tak bisa berbahasa Inggris. Jawaban mereka ketika kutanya, rata-rata sama, "dame", sambil menyilangkan tangan di depan dada, seolah bahasa Inggris adalah bahasa terlarang untuk mereka.

Sejak saat itu, kubulatkan tekad untuk mempelajari bahasa dan budaya Jepang -setidaknya, saat aku tinggal di sana. Tidak mudah memang, mempelajari bahasa baru dengan lambang bahasa yang sangat banyak untuk dihafal, dengan kemampuan otak yang uhh... rasanya semakin lamban saja nih, seiring pertambahan usia. Tapi kuingat satu peribahasa, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Menguatkan semangatku lagi. Ayo, belajar lagi!

Semakin lama tinggal di Jepang, semakin kusadari bahwa mereka sangat menjunjung tinggi bahasa dan budayanya. Sebagai mahasiswa asing, aku tentu memerlukan berbagai referensi sebagai bahan penunjang kuliah singkatku di sana, tapi sungguh sulit menemukan buku-buku berbahasa Inggris yang sesuai dengan keperluanku. Memang ada beberapa referensi yang kelihatannya sesuai, tapi ternyata buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Sedangkan kemampuan membacaku dalam bahasa Jepang, masih setara dengan siswa sekolah dasar saja. Mau menangis rasanya.

Berkaca dari pengalaman di masa itu, aku berpikir tentang bahasa dan budayaku sendiri. Rasanya, sebagian warga Indonesia masih lebih suka -dan merasa lebih hebat- jika pandai berbahasa asing, Inggris khususnya. Kuakui, hal itu akan jadi kemampuan tambahan bagi orang-orang tertentu, tapi siapa lagi yang akan mencintai bahasa dan budaya kita, jika bukan kita sendiri, warga negara Indonesia?

Satu fenomena, tentang buku-buku literatur saja. Jika banyak literatur asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bukankah akan sangat banyak orang yang diuntungkan darinya? Penterjemah akan kebanjiran pekerjaan. Penerbit ikut merasakan hasilnya (dan mungkin pembajak buku juga :p). Penjual buku? Sudah tentu. Pembaca pun akan semakin pintar berbahasa Indonesia. Jika sedemikian panjang rantai keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan bahasa Indonesia, rasanya kita perlu berbangga juga, bukan, karena memberi sedikit kontribusi pada pelestarian bahasa kita. Aku sudah tentu berbangga. Anda?

Selasa, 24 Maret 2009

Keep Bandung Beautiful, Euy.

Radio Rase sudah kukenal cukup lama, sejak aku remaja. Program acara yang ditawarkan cukup bagus, dan mencakup rentang pendengar yang cukup luas. Penyiarnya berwawasan, gaya bicaranya tidak berlebihan, dan kepeduliannya pada lingkungan dengan berbagai issue 'hijau'nya membuatku sepakat sependapat. Pada intinya, cocok untuk telingaku.
Tapi ada satu yang 'menggelitik'. Jargon yang sejak dulu diusung salah satu stasiun radio di Bandung ini merupakan campuran bahasa Inggris dan Sunda. Jadi lucu, tapi melekat cukup kuat di benak. "Keep Bandung Beautiful, Euy".

Senin, 23 Maret 2009

Dyper Change

Foto ini kuambil di salah satu toilet yang bergabung dengan mushala wanita di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar di Bandung, Cihampelas Walk.
Toiletnya bersih, tidak berbau, malah relatif wangi. Mushalanya pun resik, dengan mukena yang bersih, dijanjikan dicuci setiap hari. Kelihatannya terbukti.
Tulisan di dinding dalam tempat wudhu yang bergabung dengan wastafel yang kuabadikan dalam foto ini, sudah menempel cukup lama dan masih tetap terpasang di sana, dengan kesalahan penggunaan bahasa yang nyata. Berniat mengadopsi budaya dan bahasa asing, tulisan di dinding toilet di lantai satu sayap kanan itu ternyata memuat kesalahan yang menggelikan.
Dyper Change? Bukankah seharusnya kata tersebut dieja "Diaper". Pengucapannya memang sama, tapi artinya? Dyper... setelah kucari di kamus pun, kata itu tak terdata. Tapi... Mengapa tidak memakai bahasa Indonesia saja? Tempat Mengganti Popok. Relatif panjang sih, tapi bukankah lebih tepat sasaran?

Kata Pertama

Bahasa menunjukkan Bangsa. Bangsa yang besar tentu mempunyai sejarah kebahasaan yang panjang dan berkesinambungan. Di tengah-tengah era global sekarang ini, di mana batas antarnegara dan budaya menjadi semakin transparan, ingin rasanya menunjukkan diri sebagai seorang Indonesia yang berbudaya. Melalui bahasa, kusampaikan berbagai rasa, sebagai anak bangsa yang cinta budayanya.