Satu setengah tahun aku tinggal di negara tetangga, Jepang, tempat aku menjalani kegiatan sebagai peserta program penataran guru di Universitas Gunma. Awalnya, aku begitu percaya diri bahwa dengan kemampuan berbahasa Inggrisku, aku bisa hidup nyaman di Jepang, tanpa perlu menguasai bahasa mereka. Kupikir, negara jepang toh termasuk negara maju yang berbagai produknya -terutama produk elektronik- telah sukses diekspor ke mana-mana. Warga negaranya, tentulah juga menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa dunia. Tapi... rupanya aku harus kecewa, karena di Gunma, bahasa Inggris nyaris tak ada gunanya. Hari-hari pertamaku di sana kupakai untuk berkeliling di daerah sekitar, bersama seorang teman warga Tunisia yang pandai berbahasa Inggris. Tanya sana-tanya sini, ternyata hampir semua tetangga tak bisa berbahasa Inggris. Jawaban mereka ketika kutanya, rata-rata sama, "dame", sambil menyilangkan tangan di depan dada, seolah bahasa Inggris adalah bahasa terlarang untuk mereka.
Sejak saat itu, kubulatkan tekad untuk mempelajari bahasa dan budaya Jepang -setidaknya, saat aku tinggal di sana. Tidak mudah memang, mempelajari bahasa baru dengan lambang bahasa yang sangat banyak untuk dihafal, dengan kemampuan otak yang uhh... rasanya semakin lamban saja nih, seiring pertambahan usia. Tapi kuingat satu peribahasa, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Menguatkan semangatku lagi. Ayo, belajar lagi!
Semakin lama tinggal di Jepang, semakin kusadari bahwa mereka sangat menjunjung tinggi bahasa dan budayanya. Sebagai mahasiswa asing, aku tentu memerlukan berbagai referensi sebagai bahan penunjang kuliah singkatku di sana, tapi sungguh sulit menemukan buku-buku berbahasa Inggris yang sesuai dengan keperluanku. Memang ada beberapa referensi yang kelihatannya sesuai, tapi ternyata buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Sedangkan kemampuan membacaku dalam bahasa Jepang, masih setara dengan siswa sekolah dasar saja. Mau menangis rasanya.
Berkaca dari pengalaman di masa itu, aku berpikir tentang bahasa dan budayaku sendiri. Rasanya, sebagian warga Indonesia masih lebih suka -dan merasa lebih hebat- jika pandai berbahasa asing, Inggris khususnya. Kuakui, hal itu akan jadi kemampuan tambahan bagi orang-orang tertentu, tapi siapa lagi yang akan mencintai bahasa dan budaya kita, jika bukan kita sendiri, warga negara Indonesia?
Satu fenomena, tentang buku-buku literatur saja. Jika banyak literatur asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bukankah akan sangat banyak orang yang diuntungkan darinya? Penterjemah akan kebanjiran pekerjaan. Penerbit ikut merasakan hasilnya (dan mungkin pembajak buku juga :p). Penjual buku? Sudah tentu. Pembaca pun akan semakin pintar berbahasa Indonesia. Jika sedemikian panjang rantai keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan bahasa Indonesia, rasanya kita perlu berbangga juga, bukan, karena memberi sedikit kontribusi pada pelestarian bahasa kita. Aku sudah tentu berbangga. Anda?