Sebagai guru yang mengajar di sebuah sekolah internasional, aku sudah cukup familiar dengan keberadaan anak-anak berbahasa ganda atau lazim disebut bilingual.
Perkenalan pertamaku dengan anak-anak bilingual dimulai dari tiga bersaudara pindahan dari Australia. Sang kakak sulung bersekolah di SMP, sedangkan adiknya yang perempuan bersekolah di kelas 4, dan si bungsu yang laki-laki di kelas 1. Sebagai anak dari pernikahan campuran, wajah mereka cantik dan tampan. Kemampuan berkomunikasi mereka? Nyaris 100% berbahasa Inggris. Ibu mereka, sebagai warga Negara Indonesia tentu masih bisa berbahasa Indonesia –walaupun sudah terwarnai oleh logat asing-, sedangkan ketiga bersaudara itu, ah… sulit sekali menyampaikan pelajaran kepada mereka dalam bahasa Indonesia. Hanya satu-dua kata yang mereka pahami dalam bahasa Indonesia. Bayangkan… jika kita harus mengajarkan mata pelajaran IPA dengan berbagai istilah yang berbeda dalam bahasa Indonesia dan Inggris, bagaimana sulitnya? Walaupun aku… bisalah berbahasa Inggris, tetap sulit menyampaikan materi pelajaran kepadanya. Akupun terbawa bilingual, menterjemahkan setiap kalimat ke dalam bahasa Inggris untuknya.
Osha yang masuk ke kelas 4 di mana aku adalah wali kelasnya. Dia baru datang dari Jerman, mengikuti ayahnya yang pulang kampung ke Indonesia setelah bertugas lama di sana. Mereka adalah keluarga Sunda yang sehari-harinya berbahasa Jerman saja atau dicampur dengan sedikit bahasa Sunda dan sedikit bahasa Indonesia. Nah… ketika dia kembali ke Indonesia, sulitlah kita berkomunikasi dengannya. Diajak bahasa Inggris tidak bisa, dibawa berbahasa Indonesia pun tak nyambung. Masa mau pakai bahasa Sunda? Aku tak pandai pula.
Ada pula Hanan dan Nada yang tinggal cukup lama di Amerika, dan tentu saja sangat menguasai bahasa Inggris. Tapi untungnya, ayah dan ibu mereka masih menggunakan bahasa Indonesia, sehingga mereka tak lupa bahasa ibu (dan ayahnya). Mereka terlihat cukup terganggu dengan sedikit gegar budaya dan bahasa ketika kembali ke Indonesia setelah 5 tahun di negeri Paman Sam, namun mereka cepat menyesuaikan diri, hingga meraih prestasi yang cukup tinggi di kemudian hari. Hanan hampir lulus dari jurusan Hubungan Internasional, sementara Nada masih jadi mahasiswa fakultas Kedokteran di salah satu universitas terkemuka di Bandung.
Selain mereka, ada pula Daichi yang beribukan seorang berkebangsaan Jepang. Dia masih berbahasa Jepang dengan ibunya, tapi kemampuan berbahasa Indonesianya cukup baik. Sayang, hanya satu tahun lebih sedikit, Daichi di Indonesia. Selanjutnya, dia pindah ke Jepang lagi, dan sudah banyak lupa berbahasa Indonesia. Maklumlah… Negara Jepang memiliki tradisi kuat untuk melestarikan bahasa dan budayanya. Tak ada ruang untuk anak-anak asing di sekolah mereka, kecuali anak-anak itu mau beradaptasi danmenggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa sehari-hari.
Di sekolah tempatku mengajar sekarang ini, ada pula dua kakak beradik yang ikut orangtuanya tinggal di Australia beberapa tahun. Bahasa lisan mereka sangat diwarnai bahasa Inggris. Awalnya sulit berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Indonesia. Kupikir, tentulah nilai bahasa Inggris mereka akan jadi yang terbaik di kelasnya. Ternyata, tidak demikian adanya. Mereka mungkin teramat pandai berbahasa Inggris lisan, tapi wawasan kebahasaan tidak semata dalam bentuk lisan, bukan? Ada pemahaman wacana yang terkait dengan kemampuan menulis dan ketatabahasaan, juga kemampuan dengar, selain keahlian berbicara. Jadi, yang berbahasa Inggris aktif, ternyata belum tentu paling hebat juga, bahkan dalam pelajaran bahasa Inggris sekalipun.
Teringat satu sesi dalam pelatihan yang pernah kuikuti. Pernyataan sang narasumber sebagai berikut, “Anak-anak yang bisa dua bahasa, disebut bilingual. Anak-anak yang bisa tiga bahasa, disebut trilingual. Anak-anak yang bisa berbagai bahasa, disebut multilingual. Sedangkan orang-orang yang bisa satu bahasa saja (Inggris), disebut American.” katanya. Haha… Ada benarnya juga kali ya? ;)
Osha yang masuk ke kelas 4 di mana aku adalah wali kelasnya. Dia baru datang dari Jerman, mengikuti ayahnya yang pulang kampung ke Indonesia setelah bertugas lama di sana. Mereka adalah keluarga Sunda yang sehari-harinya berbahasa Jerman saja atau dicampur dengan sedikit bahasa Sunda dan sedikit bahasa Indonesia. Nah… ketika dia kembali ke Indonesia, sulitlah kita berkomunikasi dengannya. Diajak bahasa Inggris tidak bisa, dibawa berbahasa Indonesia pun tak nyambung. Masa mau pakai bahasa Sunda? Aku tak pandai pula.
Ada pula Hanan dan Nada yang tinggal cukup lama di Amerika, dan tentu saja sangat menguasai bahasa Inggris. Tapi untungnya, ayah dan ibu mereka masih menggunakan bahasa Indonesia, sehingga mereka tak lupa bahasa ibu (dan ayahnya). Mereka terlihat cukup terganggu dengan sedikit gegar budaya dan bahasa ketika kembali ke Indonesia setelah 5 tahun di negeri Paman Sam, namun mereka cepat menyesuaikan diri, hingga meraih prestasi yang cukup tinggi di kemudian hari. Hanan hampir lulus dari jurusan Hubungan Internasional, sementara Nada masih jadi mahasiswa fakultas Kedokteran di salah satu universitas terkemuka di Bandung.
Selain mereka, ada pula Daichi yang beribukan seorang berkebangsaan Jepang. Dia masih berbahasa Jepang dengan ibunya, tapi kemampuan berbahasa Indonesianya cukup baik. Sayang, hanya satu tahun lebih sedikit, Daichi di Indonesia. Selanjutnya, dia pindah ke Jepang lagi, dan sudah banyak lupa berbahasa Indonesia. Maklumlah… Negara Jepang memiliki tradisi kuat untuk melestarikan bahasa dan budayanya. Tak ada ruang untuk anak-anak asing di sekolah mereka, kecuali anak-anak itu mau beradaptasi danmenggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa sehari-hari.
Di sekolah tempatku mengajar sekarang ini, ada pula dua kakak beradik yang ikut orangtuanya tinggal di Australia beberapa tahun. Bahasa lisan mereka sangat diwarnai bahasa Inggris. Awalnya sulit berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Indonesia. Kupikir, tentulah nilai bahasa Inggris mereka akan jadi yang terbaik di kelasnya. Ternyata, tidak demikian adanya. Mereka mungkin teramat pandai berbahasa Inggris lisan, tapi wawasan kebahasaan tidak semata dalam bentuk lisan, bukan? Ada pemahaman wacana yang terkait dengan kemampuan menulis dan ketatabahasaan, juga kemampuan dengar, selain keahlian berbicara. Jadi, yang berbahasa Inggris aktif, ternyata belum tentu paling hebat juga, bahkan dalam pelajaran bahasa Inggris sekalipun.
Teringat satu sesi dalam pelatihan yang pernah kuikuti. Pernyataan sang narasumber sebagai berikut, “Anak-anak yang bisa dua bahasa, disebut bilingual. Anak-anak yang bisa tiga bahasa, disebut trilingual. Anak-anak yang bisa berbagai bahasa, disebut multilingual. Sedangkan orang-orang yang bisa satu bahasa saja (Inggris), disebut American.” katanya. Haha… Ada benarnya juga kali ya? ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar