Artikel ini kukutip dari rubrik BAHASAKITA di majalah Intisari edisi bulan Mei 2008. Memaparkan secara ilmiah, kaidah penggunaan beberapa kata serapan dari bahasa asing -Arab, tepatnya- yang sudah biasa dipakai. Aku sendiri, lebih suka menulis kata shalat dibandingkan dengan sholat atau salat. Padahal menurut kamus dan PUEYD, itu salah. Begitu juga dengan adzan maghrib. Sudah lebih terbiasa dan lazim, rasanya (atau pertanda keras kepala semata? :p)
Sholat, Shalat, atau Salat?
Penulis: Dra. Dad Murniah, M.Hum
Kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, Depdiknas
Kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, Depdiknas
Sering kita menemukan kata salat dituliskan secara berbeda: shalat atau sholat. Padahal, sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD), penulisan yang benar adalah salat.
Suatu kata yang telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang ada yaitu PUEYD. Tak terkecuali kata yang berasal dari Arab. Tetapi suatu kata Arab yang belum menjadi warga kosakata bahasa seyogyanya ditulis mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Bukankah kata salat yang berasal dari bahasa Arab itu telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia? Kata itu telah dikenal secara luas dan tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam PUEYD, hanya empat satuan bunyi yang dilambangkan dengan dua hurufm yaitu kh, sy, ng, dan ny.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kelaziman mengeja kata serapan dari bahasa Arab yang mengandung huruf hijaiyah sad? Penulisan hata-kata serapan semacam itu telah ditetapkan dan diberlakukan secara taat asas. Kata sahabat, misalnya, tidah ditulis shahabat. Begitu juga dengan musibah, nasihat, maksud, kisah atau maksiat, tidak ditulis mushibah, nashihat, maqshud, qishah, atau ma'shiat.
Sejumlah contoh kata serapan dari bahasa Arab tersebut menunjukkan bahwa huruf sad menjadi s dalam bahasa Indonesia.
Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab yang ditulis secara tidak tepat. Misalnya azan magrib ditulis adzan maghrib. Padahal dua kata itu telah biasa dipakai dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Tentu saja ia harus tunduk pada kaidah penulisan kata serapan yang ada. Konsonan dz dan gh tidak terdapat dalam sistem ejaan bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang berasal dari bahasa Arab yang mengandung huruf zal dan gain. Misalnya zat, zikir, uzur, gaib, gairah, atau logat. Kata-kata itu seharusnya tidak ditulis dzat, dzikir, udzur, ghaib, ghairah, atau loghat. Di dalam kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, huruf zal dari bahasa Arab menjadi z di dalam bahasa Indonesia dan gain menjadi g.
Memang dalam PUEYD disebutkan bahwa ejaan kata yang berasal dari bahasa asing (termasuk Arab tentunya) hanya diubah seperlunya. Hal ini dimaksudkan agar ejaannya dalam bahasa Indonesia masih dapat dibandingkan dengan ejaan dalam bahasa asalnya.
Kalau kita bandingkan antara lafal lambang bunyi bahasa Arab dan lafal lambang bunyi bahasa Indonesia, kita melihat adanya perbedaan-perbedaan yang cukup besar. Upaya terbaik untuk mengatasi hal itu dalam pengindonesiaan kata bahasa Arab ialah mencarikan lambang bunyi yang paling dekat dengan lafal lambang bunyi serupa dalam bahasa Arab.
Namun patut diingat, unsur bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia harus mempertajam daya ungkap. Ia juga harus memungkinkan orang menyatakan makna konsep atau gagasan secara tepat. Penyerapan unsur bahasa Arab itu perlu dilakukan secara selektif. Kata serapan itu arus mampu mengisi kerumpangan konsep dalam khazanah bahasa Indonesia. kata itu memang dibutuhkan dalam bahasa Indonesia untuk kepentingan pemerkayaan daya ungkap mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Memang, dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bahasa asing, termasuk bahasa Arab. Tentu saja pengaruh itu di satu sisi dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di sisi lain bisa saja mengganggu kaidah tata bahasa kita. Tetapi kita tak perlu terlalu risau dan curiga, bukan?
Suatu kata yang telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang ada yaitu PUEYD. Tak terkecuali kata yang berasal dari Arab. Tetapi suatu kata Arab yang belum menjadi warga kosakata bahasa seyogyanya ditulis mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Bukankah kata salat yang berasal dari bahasa Arab itu telah menjadi warga kosakata bahasa Indonesia? Kata itu telah dikenal secara luas dan tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam PUEYD, hanya empat satuan bunyi yang dilambangkan dengan dua hurufm yaitu kh, sy, ng, dan ny.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kelaziman mengeja kata serapan dari bahasa Arab yang mengandung huruf hijaiyah sad? Penulisan hata-kata serapan semacam itu telah ditetapkan dan diberlakukan secara taat asas. Kata sahabat, misalnya, tidah ditulis shahabat. Begitu juga dengan musibah, nasihat, maksud, kisah atau maksiat, tidak ditulis mushibah, nashihat, maqshud, qishah, atau ma'shiat.
Sejumlah contoh kata serapan dari bahasa Arab tersebut menunjukkan bahwa huruf sad menjadi s dalam bahasa Indonesia.
Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab yang ditulis secara tidak tepat. Misalnya azan magrib ditulis adzan maghrib. Padahal dua kata itu telah biasa dipakai dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Tentu saja ia harus tunduk pada kaidah penulisan kata serapan yang ada. Konsonan dz dan gh tidak terdapat dalam sistem ejaan bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang berasal dari bahasa Arab yang mengandung huruf zal dan gain. Misalnya zat, zikir, uzur, gaib, gairah, atau logat. Kata-kata itu seharusnya tidak ditulis dzat, dzikir, udzur, ghaib, ghairah, atau loghat. Di dalam kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, huruf zal dari bahasa Arab menjadi z di dalam bahasa Indonesia dan gain menjadi g.
Memang dalam PUEYD disebutkan bahwa ejaan kata yang berasal dari bahasa asing (termasuk Arab tentunya) hanya diubah seperlunya. Hal ini dimaksudkan agar ejaannya dalam bahasa Indonesia masih dapat dibandingkan dengan ejaan dalam bahasa asalnya.
Kalau kita bandingkan antara lafal lambang bunyi bahasa Arab dan lafal lambang bunyi bahasa Indonesia, kita melihat adanya perbedaan-perbedaan yang cukup besar. Upaya terbaik untuk mengatasi hal itu dalam pengindonesiaan kata bahasa Arab ialah mencarikan lambang bunyi yang paling dekat dengan lafal lambang bunyi serupa dalam bahasa Arab.
Namun patut diingat, unsur bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia harus mempertajam daya ungkap. Ia juga harus memungkinkan orang menyatakan makna konsep atau gagasan secara tepat. Penyerapan unsur bahasa Arab itu perlu dilakukan secara selektif. Kata serapan itu arus mampu mengisi kerumpangan konsep dalam khazanah bahasa Indonesia. kata itu memang dibutuhkan dalam bahasa Indonesia untuk kepentingan pemerkayaan daya ungkap mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Memang, dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bahasa asing, termasuk bahasa Arab. Tentu saja pengaruh itu di satu sisi dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di sisi lain bisa saja mengganggu kaidah tata bahasa kita. Tetapi kita tak perlu terlalu risau dan curiga, bukan?
4 komentar:
wahh ternyata ribet juga ya
makasih ya mo bikin tugas bahasa jadi gampang
Terima kasih kembali. Selamat dan sukses mengerjakan tugas :)
bingung juga....
kalau seperti kata TSANAWIYAH itu kok tetap TSANAWIYAH(bkn SANAWIYAH)?
terus apakah kata serapan dari bahasa Arab itu perlu mengikuti kaidah transliterasi dalam penulisannya?
Posting Komentar