Salah satu kota yang menarik perhatianku di Jepang adalah kota Oizumi, sebuah kecil di sebelah utara Gunma. Di kota ini terdapat komunitas orang asing yang cukup besar, terutama warga negara imigran dari Brazil atau Peru. Dengan demikian, bahasa kedua di kota ini adalah bahasa Portugis atau Spanyol. Balai kota memiliki penterjemah resmi yang menguasai kedua bahasa tersebut. Penduduknya pun dengan nyaman bisa hidup di sana walaupun mereka tidak cukup mengerti bahasa Jepang, karena tetangga sebelah menyebelah, berbagai toko dan kantor dikelola oleh orang-orang dari negara mereka. Bahkan petunjuk jalan pun ditulis dalam 2 bahasa, Jepang dan Portugis, bukan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Wow... Orang-orang Peru yang berbahasa Spanyol sebagai bahasa ibu pun tidak merasa kesulitan karena kedekatan rumpun bahasa Spanyol dengan bahasa Portugis, sehingga mereka dapat mengerti petunjuk yang disediakan dalam bahasa Portugis (Seperti kedekatan rumpun bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia dengan bahasa Indonesia).
Sensei pembimbingku ketika di sana mempunyai proyek binaan di kota tersebut, yang melibatkan tim kerja mahasiswanya untuk berkunjung ke kota tersebut pada saat-saat tertentu, biasanya untuk penyelenggaraan kegiatan pendukung untuk warga negara asing di sana.
Aku dan Claudia menjadi 2 orang asing dalam tim pimpinan sensei tersebut. Claudia adalah seorang psikolog keturunan Jepang dari yang juga hanya paham bahasa percakapan sederhana. Kadang kami frustrasi mendengarkan penjelasan sensei secara panjang-lebar dalam bahasa Jepang tanpa bisa mengerti keseluruhan isi pembicaraannya. Dengan dia (Claudia), aku bisa saling curhat ketika menjalani tugas bersama dari sensei. Kebetulan pula, kami sering diberi tugas bersama untuk berkunjung ke kota Oizumi, wilayah yang cukup padat dengan pendatang dari Amerika Selatan, objek penelitian sensei kami. Kadangkala, kami diberi tugas yang tidak kami pahami maksudnya karena ketiadaan kaitan antara kegiatan tersebut dengan program penelitian kami. Dalam hal ini, tema school culture yang ingin kupelajari hanya jadi framework yang buram dan mengawang-awang. Bersama Claudia, kami saling curhat karena ‘frustrasi’ dengan tugas yang Sensei berikan. Bingung karena tidak tahu cara menyampaikan harapan dan keinginan kami, juga menanyakan tujuan penugasan tersebut, terutama dengan keterbatasan kosa kata yang kami miliki. Frustrasi deh.
Tapi saat berada di kota Oizumi, Claudia merasa terhibur karena banyaknya pendatang yang juga berasal dari Brazil, dan dengan mereka dia bisa dengan bebasnya bercerita tentang segala macam, tanpa dibatasi oleh kendala bahasa. Duh… sempat iri juga, tapi bukankah iri hanya pertanda ketidakmapuan? Ah… sedikit demi sedikit, aku berhasil menyisihkan rasa iri dari dalam hatiku.
Berkaca dari pengalaman di masa itu, aku membandingkannya dengan kondisi di Indonesia saat ini. Jangankan terjemahan ke bahasa Inggris. Terkadang nama tempat di Indonesia sesukanya mencantumkan bahasa Inggris saja, seakan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada bahasa ibunya. Sayang sekali.
Sensei pembimbingku ketika di sana mempunyai proyek binaan di kota tersebut, yang melibatkan tim kerja mahasiswanya untuk berkunjung ke kota tersebut pada saat-saat tertentu, biasanya untuk penyelenggaraan kegiatan pendukung untuk warga negara asing di sana.
Aku dan Claudia menjadi 2 orang asing dalam tim pimpinan sensei tersebut. Claudia adalah seorang psikolog keturunan Jepang dari yang juga hanya paham bahasa percakapan sederhana. Kadang kami frustrasi mendengarkan penjelasan sensei secara panjang-lebar dalam bahasa Jepang tanpa bisa mengerti keseluruhan isi pembicaraannya. Dengan dia (Claudia), aku bisa saling curhat ketika menjalani tugas bersama dari sensei. Kebetulan pula, kami sering diberi tugas bersama untuk berkunjung ke kota Oizumi, wilayah yang cukup padat dengan pendatang dari Amerika Selatan, objek penelitian sensei kami. Kadangkala, kami diberi tugas yang tidak kami pahami maksudnya karena ketiadaan kaitan antara kegiatan tersebut dengan program penelitian kami. Dalam hal ini, tema school culture yang ingin kupelajari hanya jadi framework yang buram dan mengawang-awang. Bersama Claudia, kami saling curhat karena ‘frustrasi’ dengan tugas yang Sensei berikan. Bingung karena tidak tahu cara menyampaikan harapan dan keinginan kami, juga menanyakan tujuan penugasan tersebut, terutama dengan keterbatasan kosa kata yang kami miliki. Frustrasi deh.
Tapi saat berada di kota Oizumi, Claudia merasa terhibur karena banyaknya pendatang yang juga berasal dari Brazil, dan dengan mereka dia bisa dengan bebasnya bercerita tentang segala macam, tanpa dibatasi oleh kendala bahasa. Duh… sempat iri juga, tapi bukankah iri hanya pertanda ketidakmapuan? Ah… sedikit demi sedikit, aku berhasil menyisihkan rasa iri dari dalam hatiku.
Berkaca dari pengalaman di masa itu, aku membandingkannya dengan kondisi di Indonesia saat ini. Jangankan terjemahan ke bahasa Inggris. Terkadang nama tempat di Indonesia sesukanya mencantumkan bahasa Inggris saja, seakan tidak ada kebanggaan sedikitpun pada bahasa ibunya. Sayang sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar