Ini adalah naskah yang kukirim ke panitia lomba Kisah Seru di Perpustakaan beberapa waktu yang lalu. Karyaku tersisih, sedih dong.... Tapi setelah kubaca karya-karya sang juara, wah... mereka memang pantas juara. Aku posting saja naskahku di sini. Setidaknya untuk berbagi. Sayang kan, jika naskah yang sudah ditulis ini tidak dipublikasikan ;) Selamat membaca.
“Apaan? Diah? Paling-paling dia tahu Bandung cuma sampe perempatan deket sekolah, seturunnya dia dari angkot. Dia kan kuper. Cuma tahu jalur angkot dari rumah ke sekolah, terus balik lagi. Udah, cuma itu doang. Di sekolah juga mainnya kan di perpustakaan melulu.”
Aku melet. Susah untuk membela diri di tengah kerumunan teman-teman yang meledekku habis-habisan.
Sebagiannya, mereka tidak salah. Aku memang suka nongkrong di perpustakaan, hampir di setiap jam istirahat, untuk banyak alasan. Di rumah, kami tidak berlangganan Koran, sedangkan di perpustakaan, aku bisa membaca Koran setiap hari, gratis, tentunya. Tambah wawasan, tambah ilmu. Kedua, aku juga bukan dari keluarga berada. Apa hubungannya, coba? Tentu saja aku tak bisa setiap hari nongkrong-nongrong di kantin sekolah, membeli berbagai penganan yang ah… I just simply can’t afford it. Kunjungan ke perpustakaan sebetulnya cuma kedok dari kemiskinanku. :p
Sebetulnya, keluargaku nggak miskin-miskin amat sih… Aku sok hemat saja. Sejak SD, aku sudah dikenalkan pada perpustakaan British Council, dulu ada di Jalan Lembong, dekat hotel Panghegar bandung. Kakak sulungku yang saat itu sudah kuliah cukup sering membawaku ke sana, membantuku mendaftarkan diri sebagai anggota, dan kemudian, aku senang sekali bolak-balik ke sana seorang diri untuk meminjam berbagai buku berbahasa Inggris koleksi perpustakaan itu. Asyik lho, ketika merasa bisa dan mengerti isi suatu buku yang kubaca, aku jadi bersemangat untuk membaca buku lainnya, makin lama makin tinggi levelnya, dan aku makin pintar berbahasa Inggris jadinya. ;)
Ketika SMP, aku tak bisa sekolah jauh-jauh, karena orangtuaku tak cukup punya biaya untuk menyekolahkan aku di tempat yang relatif jauh. Perjalanan dari rumah ke sekolah kujalani dengan naik angkot satu kali, makan waktu sekitar setengah jam. Begitu pula ketika aku di SMA, yang terletak tidak jauh dari SMP tempatku sekolah. Itulah makanya, aku sering jadi bahan ledekan teman-teman, bahwa aku cuma tahu Bandung sampai batas sekolahku saja. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah merambah jauh ke perpustakaan British Council, sementara mereka bahkan mungkin tidak tahu, di mana letak perpustakaan itu. :p
Terus terang, ketika SMP, aku tidak cukup sering berkunjung ke perpustakaan sekolah, karena letaknya yang kurang strategis, koleksi bukunya yang terbatas, juga ruangannya yang pengap. Konon, ada ‘penghuni’ di perpustakaan itu, yang suka mengganggu kenyamanan para siswa yang sedang membaca di dalamnya. Tak heranlah, jika tak banyak siswa yang memanfaatkan fasilitas perpustakaan. Kita sudah takut duluan.
Selain itu, ventilasi di ruang perpustakaan itu pun tidak cukup baik, tak ber-AC, pula. Makin malaslah aku untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Sebetulnya, ada AC sih di sana. Pak Ase, maksudnya, guru bahasa Indonesia yang merangkap pustakawan. Kami sering mencandai beliau di belakang punggungnya, bahwa mungkin beliau yang dimaksud dengan ‘penghuni’ perpustakaan, karena memang beliau sering sekali berada di perpustakaan. Kadang, kami saling mendorong sesama kita untuk pergi ke perpustakaan yang ‘nyaman karena ada Ase’. Wah… maaf ya pak. By the way, apa kabar kiranya beliau?
Perpustakaan SMAku lebih nyaman dibanding perpustakaan SMP. Tempatnya relatif di tengah kampus SMA, dengan jendela berkaca yang mudah dibuka untuk sirkulasi udara. Aku suka di sana, karena berbagai alasan. Tambah satu alasan lagi, karena itu adalah lokasi strategis untuk ngecengin kakak kelas, yang sering melintas di depan perpustakaan. Haha…!
Sementara itu, perpustakaan British Council Bandung kemudian ditutup, dan koleksi bukunya dialihkan atau dititipkan ke perpustakaan pusat ITB. Wah… aku seperti magnet saja, mengikuti ke manapun perpustakaan itu pergi. Aku jadi mahasiswa ITB, dan sesekali berkunjung ke perpustakaan pusat yang berdinding keramik biru. Dipikir-pikir, seperti dinding kamar mandi ya. Hehe…
Usai kuliah, aku kemudian ‘tersesat di jalan yang benar’, memenuhi panggilan jiwa untuk menjadi guru, cita-cita masa kecilku. Aku mengajar di sebuah sekolah swasta di kawasan Bandung utara. Aku sangat menyenangi pekerjaanku, mengajar murid-muridku, transfer ilmu dan memotivasi mereka mengenai berbagai hal, juga semangat untuk mencintai perpustakaan.
Di saat mengajar, tak jarang aku meminta mereka untuk mencari data penunjang ke perpustakaan. Kudampingi, tentunya. Kuajarkan mereka adab di perpustakaan, untuk tak berbicara keras-keras, tak berlarian atau bermain-main selama di perpustakaan, mengambil dan mengembalikan koleksi buku dengan hati-hati, pada intinya untuk mencintai buku dan mencintai perpustakaan.
Usai mengajar, tak jarang aku tetap tinggal di perpustakaan untuk membaca satu-dua koleksi buku yang makin lama makin lengkap saja. Perpustakaan yang merupakan gabungan dua ruangan yang relatif kecil semakin lama semakin nyaman saja. Meja pendek dengan bantal-bantal besar atau kursi di ruang sebelah, membuatku makin betah berada di dalamnya sebagai penghuni perpustakaan. Aku dan bu Dewi, sang pustakawan sekolah, berkawan akrab. Kami bahkan pernah menyewa satu rumah bersama, berbagi atap dan berbagi kamar mandi, dan saling tahu kebiasaan masing-masing.
Suatu siang, usai istirahat, aku mengunjunginya di perpustakaan. Saat itu perpustakaan sepi, hanya ada kami berdua dan pak Wawan, seorang bapak guru lainnya. Kami semua asyik dalam kegiatan membaca kami masing-masing. Nyaris tak ada suara ketika tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara “DUTTT” Keras. Kami semua melotot, menegakkan kepala dari buku yang sedang kami baca. Tahu-sama tahu siapa yang mengeluarkan suara itu.
Siapa pun yang kentut, mungkin merasa yakin bahwa aksinya tidak akan diketahui. Dia mungkin merasa yakin bahwa gas buangnya akan keluar diam-diam dan hanya akan meninggalkan bau begitu saja di ruangan perpustakaan kecil itu, tak terdeteksi siapa produsennya. Tapi ternyata sang kentut berkhianat. Dia tak ragu-ragu menunjukkan keberadaannya, dengan percaya diri ‘berteriak’, mempermalukan sang empunya, yang tak ayal lagi, berwajah merah padam. Tapi kami pura-pura bodoh, melanjutkan kegiatan membaca kami masing-masing, beringsut sedikit menjauh dari ‘si pembuat onar’, yang mungkin tidak rela jika aku jadi penghuni perpustakaan bersamanya. :p
Catatan: Nama dan kisah di tulisan ini tidak seluruhnya nyata. Jika ada persamaan dengan tokoh ataupun peristiwa tertentu, itu karena memang disamarkan untuk melindungi privasi yang bersangkutan.
Aku melet. Susah untuk membela diri di tengah kerumunan teman-teman yang meledekku habis-habisan.
Sebagiannya, mereka tidak salah. Aku memang suka nongkrong di perpustakaan, hampir di setiap jam istirahat, untuk banyak alasan. Di rumah, kami tidak berlangganan Koran, sedangkan di perpustakaan, aku bisa membaca Koran setiap hari, gratis, tentunya. Tambah wawasan, tambah ilmu. Kedua, aku juga bukan dari keluarga berada. Apa hubungannya, coba? Tentu saja aku tak bisa setiap hari nongkrong-nongrong di kantin sekolah, membeli berbagai penganan yang ah… I just simply can’t afford it. Kunjungan ke perpustakaan sebetulnya cuma kedok dari kemiskinanku. :p
Sebetulnya, keluargaku nggak miskin-miskin amat sih… Aku sok hemat saja. Sejak SD, aku sudah dikenalkan pada perpustakaan British Council, dulu ada di Jalan Lembong, dekat hotel Panghegar bandung. Kakak sulungku yang saat itu sudah kuliah cukup sering membawaku ke sana, membantuku mendaftarkan diri sebagai anggota, dan kemudian, aku senang sekali bolak-balik ke sana seorang diri untuk meminjam berbagai buku berbahasa Inggris koleksi perpustakaan itu. Asyik lho, ketika merasa bisa dan mengerti isi suatu buku yang kubaca, aku jadi bersemangat untuk membaca buku lainnya, makin lama makin tinggi levelnya, dan aku makin pintar berbahasa Inggris jadinya. ;)
Ketika SMP, aku tak bisa sekolah jauh-jauh, karena orangtuaku tak cukup punya biaya untuk menyekolahkan aku di tempat yang relatif jauh. Perjalanan dari rumah ke sekolah kujalani dengan naik angkot satu kali, makan waktu sekitar setengah jam. Begitu pula ketika aku di SMA, yang terletak tidak jauh dari SMP tempatku sekolah. Itulah makanya, aku sering jadi bahan ledekan teman-teman, bahwa aku cuma tahu Bandung sampai batas sekolahku saja. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah merambah jauh ke perpustakaan British Council, sementara mereka bahkan mungkin tidak tahu, di mana letak perpustakaan itu. :p
Terus terang, ketika SMP, aku tidak cukup sering berkunjung ke perpustakaan sekolah, karena letaknya yang kurang strategis, koleksi bukunya yang terbatas, juga ruangannya yang pengap. Konon, ada ‘penghuni’ di perpustakaan itu, yang suka mengganggu kenyamanan para siswa yang sedang membaca di dalamnya. Tak heranlah, jika tak banyak siswa yang memanfaatkan fasilitas perpustakaan. Kita sudah takut duluan.
Selain itu, ventilasi di ruang perpustakaan itu pun tidak cukup baik, tak ber-AC, pula. Makin malaslah aku untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Sebetulnya, ada AC sih di sana. Pak Ase, maksudnya, guru bahasa Indonesia yang merangkap pustakawan. Kami sering mencandai beliau di belakang punggungnya, bahwa mungkin beliau yang dimaksud dengan ‘penghuni’ perpustakaan, karena memang beliau sering sekali berada di perpustakaan. Kadang, kami saling mendorong sesama kita untuk pergi ke perpustakaan yang ‘nyaman karena ada Ase’. Wah… maaf ya pak. By the way, apa kabar kiranya beliau?
Perpustakaan SMAku lebih nyaman dibanding perpustakaan SMP. Tempatnya relatif di tengah kampus SMA, dengan jendela berkaca yang mudah dibuka untuk sirkulasi udara. Aku suka di sana, karena berbagai alasan. Tambah satu alasan lagi, karena itu adalah lokasi strategis untuk ngecengin kakak kelas, yang sering melintas di depan perpustakaan. Haha…!
Sementara itu, perpustakaan British Council Bandung kemudian ditutup, dan koleksi bukunya dialihkan atau dititipkan ke perpustakaan pusat ITB. Wah… aku seperti magnet saja, mengikuti ke manapun perpustakaan itu pergi. Aku jadi mahasiswa ITB, dan sesekali berkunjung ke perpustakaan pusat yang berdinding keramik biru. Dipikir-pikir, seperti dinding kamar mandi ya. Hehe…
Usai kuliah, aku kemudian ‘tersesat di jalan yang benar’, memenuhi panggilan jiwa untuk menjadi guru, cita-cita masa kecilku. Aku mengajar di sebuah sekolah swasta di kawasan Bandung utara. Aku sangat menyenangi pekerjaanku, mengajar murid-muridku, transfer ilmu dan memotivasi mereka mengenai berbagai hal, juga semangat untuk mencintai perpustakaan.
Di saat mengajar, tak jarang aku meminta mereka untuk mencari data penunjang ke perpustakaan. Kudampingi, tentunya. Kuajarkan mereka adab di perpustakaan, untuk tak berbicara keras-keras, tak berlarian atau bermain-main selama di perpustakaan, mengambil dan mengembalikan koleksi buku dengan hati-hati, pada intinya untuk mencintai buku dan mencintai perpustakaan.
Usai mengajar, tak jarang aku tetap tinggal di perpustakaan untuk membaca satu-dua koleksi buku yang makin lama makin lengkap saja. Perpustakaan yang merupakan gabungan dua ruangan yang relatif kecil semakin lama semakin nyaman saja. Meja pendek dengan bantal-bantal besar atau kursi di ruang sebelah, membuatku makin betah berada di dalamnya sebagai penghuni perpustakaan. Aku dan bu Dewi, sang pustakawan sekolah, berkawan akrab. Kami bahkan pernah menyewa satu rumah bersama, berbagi atap dan berbagi kamar mandi, dan saling tahu kebiasaan masing-masing.
Suatu siang, usai istirahat, aku mengunjunginya di perpustakaan. Saat itu perpustakaan sepi, hanya ada kami berdua dan pak Wawan, seorang bapak guru lainnya. Kami semua asyik dalam kegiatan membaca kami masing-masing. Nyaris tak ada suara ketika tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara “DUTTT” Keras. Kami semua melotot, menegakkan kepala dari buku yang sedang kami baca. Tahu-sama tahu siapa yang mengeluarkan suara itu.
Siapa pun yang kentut, mungkin merasa yakin bahwa aksinya tidak akan diketahui. Dia mungkin merasa yakin bahwa gas buangnya akan keluar diam-diam dan hanya akan meninggalkan bau begitu saja di ruangan perpustakaan kecil itu, tak terdeteksi siapa produsennya. Tapi ternyata sang kentut berkhianat. Dia tak ragu-ragu menunjukkan keberadaannya, dengan percaya diri ‘berteriak’, mempermalukan sang empunya, yang tak ayal lagi, berwajah merah padam. Tapi kami pura-pura bodoh, melanjutkan kegiatan membaca kami masing-masing, beringsut sedikit menjauh dari ‘si pembuat onar’, yang mungkin tidak rela jika aku jadi penghuni perpustakaan bersamanya. :p
Catatan: Nama dan kisah di tulisan ini tidak seluruhnya nyata. Jika ada persamaan dengan tokoh ataupun peristiwa tertentu, itu karena memang disamarkan untuk melindungi privasi yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar