Akhir September lalu, aku dan seorang teman berjanji untuk Meraih Mimpi bersama-sama. Maksudnya, mau menonton film animasi karya Nia Dinata ini di teater XXI CiWalk.
Setelah
makan pagi yang terlambat dari rumah, aku pergi ke rumah Intan dulu. Menjemputnya sebelum kemudian berangkat bareng ke lokasi. Jalanan tidak terlalu padat, dan kami bisa sampai cukup cepat ke area Cihampelas. Di jalan Cihampelas itulah laju kendaraan padat merayap. Kendaraan dari atas (Ciumbuleuit dan Dago) ataupun Cipaganti, berbaur di Cihampelas. Kendaraan yang menuju gerbang tol Pasteur, ataupun yang masih ingin berlama-lama di Bandung dan menjajal area
CiWalk, campur baur di sana.
Seperti sudah diprediksi,
CiWalk ramai. Mencari slot parkir jadi susah sekali. Aku harus berputar naik berkali-kali hingga lantai tertinggi. Agak ngeri juga setiap kali mendaki landasan terjal menuju lantai berikutnya. Akan kuatkah
katana kecilku? Jangan dulu memikirkan turunnya deh. Udah ngeri duluan. Tapi... rupanya kengerian itu terbayar dengan pemandangan indah dari atas gedung
CiWalk. Di kejauhan nampak jembatan layang Pasupati yang gagah. Indah.
Aku dan Intan masuk di antrian pendek untuk mendapatkan tiket bioskop di teater 2 untuk film
Meraih Mimpi. Dapat barisan paling belakang di sayap kiri. Lokasi yang cukup strategis, menurutku.

Kami pun menikmati tayangan film itu sambil menahan lapar gara-gara belum sempat makan siang. Tak kunikmati betul, sebetulnya. Mungkin karena lapar (hehe...), aku jadi ekstra kritis terhadap apa yang kulihat dan kudengar. Begitu banyak taburan bintang Indonesia yang terlibat di dalam proses produksi film itu, kurasa malah membuatnya jadi tidak fokus. Cut Mini sebagai
Kakatu kurasa bermain apik. Logat melayu-nya masih sangat kental terdengar, tapi tetap menyenangkan untuk didengar. Penggambaran Gita Gutawa sebagai Dana si gadis desa dengan celana pendek birunya, kurasa tidak cukup membumi. Kurang meng-Indonesia, rasanya. Patton si idola cilik sebagai Rai, adiknya Dana, yang digambarkan suka kungfu, hm... lucu juga sih. Di beberapa
scene-nya kok ya jadi seperti
Kungfu Panda ya. Terlihat agak berlebihan atau dileih-lebihkan, tapi masih OK-lah.
Komunitas binatang di hutan sekitar, ini juga kurasa kurang tergarap dengan apik. Begitu banyak binatang dengan logat bahasa lokal yang tergabung di sana. Ada monyet berlogat Sunda, kancil berlidah Cina, bunglon dengan logat Jawa yang kental, sementara Kakatu konsisten dengan logat melayunya. Padahal mereka tinggal di hutan yang sama. Terasa sedikit janggal.
Mencermati gambar animasi sepanjang film ini, kupikir animator Indonesia yang terlibat boleh diberi
applause untuk penyemangat kerja mereka. Belum bisa dibandingkan dengan animasi karya
Disney atau
Pixar sih. Masih jauh rasanya, tapi sudah cukup lumayan-lah. Gerak bibir para pemeran kadang tidak sinkron dengan kata-kata yang diucapkannya. Tapi sejauh ini, film itu masih bisa kuberi dua bintang deh.
Sementara itu, Gita Gutawa masih bisa mendapat poin tambahan ketika dia menyanyikan
themesong untuk film ini. Cantik betul. Suaranya yang jernih, artikulasi yang pas dengan nada yang tepat membuat film ini semakin cantik. Lagi-lagi, jadi teringat film yang lain sebagai pembanding, dan film
Meraih Mimpi ini kalah lagi.
Petualangan Sherina dengan lagu-lagu cantiknya menurutku masih lebih bagus. Tapi sejauh ini, sejarah perfilman Indonesia sudah mencatat karya-karya besar anak bangsa yang membanggakan. Di masa depan, pasti akan ada film Indonesia yang lebih spektakuler dan mengguncang sejarah (karena bagusnya). Dan aku yakin, itu tidak akan lama lagi. Kami akan meraih mimpi-mimpi kami yang lain, untuk membangun kejayaan film Indonesia di mata dunia. Insya Allah.