
Dia lapar dan haus. Tak ditemukannya makanan yang dia harap bisa menjadi pengganjal perutnya. Namun kenudian, dia bertemu dengan si pemilik kebun yang sedang beristirahat di bawah pohon, menikmati pisang matang dari sebuah tandan besar. Menitik air liurnya. Ditanggalkanlah kesan garang ketentaraannya. Dia menunjuk pisang di sebelah si petani yang serasa memanggil-manggilnya. Komunikasi mereka tak lancar karena bahasa yang berbeda. Si petani bingung dan agak takut. Wajar saja, karena si tentara jelas membawa senapan sedangkan ucapnya tak jelas menyatakan makna. Bule ini mau apa?
Kembali si tentara menunjukkan gerakan menunjuk pisang dan seolah memakannya. Ah... si petani mengerti. Dipotongnya satu sisir pisang dan diberikannya pada si tentara, dengan harapan dia segera pergi meninggalkan kebunnya dengan damai. Benar saja.
"Gedank" kata si tentara mengucap terima kasih.
"Gedhang..." ucap si petani menirukan ucapan si tentara, seolah ada kata sepakat atas satu kesepahaman di antara mereka.
Si tentara mengucap terima kasih, sedangkan si petani mengira tentara itu mengucapkan kata "pisang" dalam bahasa asing. Diberitahukannya kata baru itu kepada keluarga dan tetangganya. Sejak saat itu, orang Jawa tengah menggunakan kata "gedhang" untuk menyebut buah pisang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar